Sabtu, 09 Juni 2012

Bagaimana Seorang Muslim Belajar?


“Ilmu itu harus didatangi, bukan mendatangi” begitu jawab Imam Malik, ketika Khalifah Harun Al Rasyid menyuruh beliau untuk datang dan berkenan untuk mengajarkan ilmunya kepada anak sang khalifah. Mendapatkan jawaban dari imam Malik, khalifah menyuruh kepada anak – anaknya untuk datang ke masjid, majlis ilmu tempat imam Malik memberikan ilmunya yaitu kitab al-Muwatha’ kepada muridnya. “Tidak masalah sang amirul mukminin, anakmu datang ke majlis tersebut dengan syarat mereka tidak boleh melangkahi bahu jama’ah dan bersedia duduk di posisi mana saja yang lapang bagi mereka”.
Dialog tersebut menjadi pembuka dalam Buku  “Prophetic Learning” karangan Ust. Dwi Budiyanto tsb. Dialog yang secara tidak langsung telah mewakili sebagian isi Buku ini, yaitu BAB 1 Tentang “bagaimana seorang Muslim itu belajar”?
Dari dialog tersebut dapat kita ambil pelajaran untuk kita sebagai seorang muslim. Bahwa ilmu itu harus dikejar, dicari, dan didatangi, bukan menungguinya hingga ilmu datang dengan sendirinya, bukan. Tapi butuh kerja keras dan pengorbanan dalam mencarinya. Aktivitas itu (menuntut ilmu, pen.) tidak akan bisa terlaksana manakala motivasi dalam menuntut ilmu sangat rendah atau bahkan tidak ada, dan perlu kita ingat bahwa motivasi yang benar lah yang akan mendorongnya, yakni  motivasi karena Allah Swt. Ikhlas, karena ini adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Karena dengan ilmu perjalanan akan tersinari hingga ia tak akan tersesat kita menelusurinya, karena “al ‘ilmu Nuur” ilmu adalah cahaya. Berangkat dari motivasi yang benar itulah mudah mudahan ilmu yang kita dapatkan menambahkan keberkahan bagi kita dan sekitarnya.
Lain halnya dengan Motif yang ingin membanggakan diri, materi atau agar beroleh pujian dari manusia. Dalam jawaban imam Malik kepada sang khalifah “Baiklah tapi dengan syarat tidak boleh melangkahi bahu yang lain dan harus lapang dalam majelis”, tersirat bahwa dalam menuntut ilmu rasa sombong, bangga diri, ujub harus dilepas dalam diri kita, dan sebaliknya lapang dada/ Legowo yang harus dijadikan bekal.
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al mujadillah ayat 11).
Kemudian cukuplah hadits yang  diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA ini menjadi tadzkirah (peringatan) bagi kita.
Beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa yang Belajar untuk membanggakan diri dengan ulama, atau untuk menentang orang – orang jahil, atau untuk menarik perhatian agar manusia tertuju padanya, Allah akan memasukkanya ke dalam neraka jahannam (HR. Ibnu Majah).
Dalam buku “Prophetic Learning” yang ditulis oleh Ust. Dwi Budiyanto, dijelaskan tips agar Belajar kita beroleh keberkahan. Berikut Tipsnya:
1. Motivasi  yang Ikhlas (ikhlas an-Niyyah)
Ya motivasi yang ikhlas hanya karena Allah, bagaimanapun segala amal perbuatan terletak dari niat itu sendiri, ia akan bermakna manakala niat tersebut karena Allah SWT.
2. Belajar dengan sebaik- baiknya (Itqan-Al’amal)
Setelah meniatkan tersebut karena Allah, maka lakukanlah usaha sebaik mungkin. Rajin, tekun, ulet disiplin dalam Belajar. Lakukan itu semua sebaik mungkin, semaksimal mungkin, karena totalitas adalah kualitas, (eits…kalau moto saya suka, tapi kalau produknya TIDAK, pen.)
3. Pemanfaatan Hasil Usaha secara Tepat. (Jaudah – Al’ada)
Inilah unsur ketiga untuk mendapatkan keberkahan dalam belajar. Berangkat dari niat yang benar, kemudian usaha yang maksimal dengan Gigih dan sabar, hingga Hasil pun diraihnya, maka Manfaatkan Ilmu tersebut untuk kepentingan masyarakat dan umat. Bukan untuk menjualnya dengan Materi. (Maaf) ia menjadi “Pelacur intelektual”. Ke sana kemari dengan mempertimbangkan materi yang diperolehnya.
Inilah perkara yang mendasar dalam belajar, kesadaran inilah yang dimiliki oleh para generasi salaf dalam menuntut ilmu, hingga ia melejit dengan ilmu yang dimiliki dan berkontribusi dengan amal yang berkualitas hingga menuai keberkahan bagi diri dan sekitarnya.



::: PENTINGNYA MENGUCAPKAN INSYA ALLAH :::


Foto: ::: PENTINGNYA MENGUCAPKAN INSYA ALLAH :::

Bismillahirrahmanirrahim ...

Sahabat fillah , seberapa pentingkah kita mengucapkan kata "Insya Allah (dengan seijin Allah) " dalam berbagai aktifitas kita ... mari kita simak kisah-kisah berikut , semoga dapat menjadi hikmah dan manfaat bagi kita bersama ...


1. Kisah Pertama

Dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim, dikisahkan bahwa suatu hari, nabi Sulaiman alaihisalam berkata, “Malam ini aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku melahirkan seorang anak lelaki yang akan menjadi mujahid penunggang kuda fisabilillah.” Namun kemudian Nabi Sulaiman alaihisalam lupa mengucapkan insya Allah.


Malam itu Nabi Sulaiman alaihisalam berhasil menyetubuhi 60-70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu istrinya. Dan saat melahirkan, anak yang dilahirkannya tidak sempurna fisiknya, ia hanya berupa badan saja. Dalam riwayat lain, ia hanya sebelah manusia saja.


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.bersabda,

“Kalau saja Nabi Sulaiman alaihisalam mengucapkan Insya Allah niscaya mereka akan berjihad dijalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :

“Semua wanita itu akan hamil (dan melahirkan) putra yang berjihad dijalan Allah.” (HR. Muslim)



2. Kisah Kedua

Di puncak pertarungan pemikiran antara Rasulullah shalallahu alaihiwassalam dengan kafir Quraisy, orang-orang Quraisy mengirimkan dua orang cendikiawannya sebagai utusan khusus kepada orang-orang yahudi di madinah.

Tujuannya, agar orang-orang Quraisy mendapatkan dukungan ilmu baru dalam menghadapi Rasulullah SAW, yakni An-Nadhar bin Al Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Orang-orang yahudi membekali dua orang cendikiawan itu dengan tiga pertanyaan yang harus mereka ajukan kepada Rasulullah shalallahu alaihiwassalam. Pertanyaannya adalah :


1. Bagaimana kisah Ashhabul Kahfi ?
2. Bagaimana kisah dzul Qarnain?
3. Apa yang dimaksud dengan ruh?

Mendapatkan tiga pertanyaan seperti itu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda “besok akan saya ceritakan dan saya jawab.”

Akan tetapi beliau lupa mengucapka Insya Allah. Akibatnya, wahyu yang biasanya turun kepada beliau setiap kali menghadapi masalah, terhenti selama lima belas hari.

Sedangkan orang-orang Quraisy setiap hari selalu datang menagih janji Rasulullah SAW. “mana ceritanya? Besok...besok...besok...,” begitu kira-kira ucapan orang-orang quraisy itu.

Rasulullah shalallahu alaihiwassalam sangat sedih atas kejadian itu. Barulah setelah berlalu selama 15 hari Allah Subhana wa Ta'ala menurunkan surat Al kahfi yang berisi jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad .

Sedangkan pertanyaan yang ketiga disebutkan Allah Subhanawata'ala . Dalam surat Al Isra’ ayat 85.


Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah Subhanahu wa Ta'ala Berfirman :

“ Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al Kahfi :23-24)



3. Kisah Ketiga

Pada suatu hari, ketika Nabi Musa alahisalam sedang mengajar kaumnya timbul sebuah pertanyaan, “siapakah yang paling ‘alim diantara kalian?, Nabi Musa menjawab, “saya”. Atas jawaban tersebut, Allah Subhanawata'ala menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah yang lebih alim.


Singkat cerita, Nabi Musa alaihisalam ingin berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa dengan syarat Nabi Musa tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan itu.

Hamba Allah itu, yang tiada lain adalah Nabi Khidir alaihisalam , berkata, “akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar”.

Spontan Nabi Musa menjawab , Insya Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar.”

Nabi Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun." (QS. Al-Kahfi : 69)


Dalam jawaban ini, Nabi Musa alaihisalam mengucapkan Insya Allah. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Musa alaihisalam kurang tawadhu’. Mengapa? Sebab, ia mengatakan “...saya sebagai orang yang sabar”.


Beliau tidak mengatakan ”...saya sebagai bagian dari orang-orang yang bersabar.” Artinya, jawaban Nabi Musa a.s dapat dikonotasikan sekakan-akan didunia ini tidak ada orang yang sabar selain dirinya.

Karena sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahwa Nabi Musa a.s. tidak mampu sabar dalam berguru kepada Nabi Khidir a.s.. mengapa? Sebab, setiap Nabi Khidir a.s. berbuat sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu bertanya/berkomentar, (kisah lengkapnya bisa dilihat di (QS. Al-Kahfi : 60-82).

Rasulullah Shallahu 'alaihi wasalam bersabda, Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa bersabar, niscaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya.”(HR. Bukhori dan Muslim)


Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah Subhanawata'ala Berfirman :

“ Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al Kahfi :23-24)



4. Kisah Keempat

Nabiyullah Ibrahim a.s. berkata kepada sang putra yang dicintai itu, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkan apa pendapatmu!.”

Ia Menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS. Ash-Shafat: 102)

Jawaban Nabi Isma’il ini mengandung makna bahwa didunia ini banyak sekali orang yang sabar dan ia insya Allah termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terbuktilah bahwa Nabi Isma’il a.s. mampu bersabar berkat pertolongan Allah.



Menjadilah pelajaran bagi kita semua, bahwa setiap gerak , laku , peristiwa , rencana dan ketaatan seorang hamba sekalipun ...itu adalah semata-mata karena ijin dan pertolongan Allah Ta'ala ..


Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita semua ke dalam golongan hamba-hamba Nya yang senantiasa mengembalikan segala sesuatu kepada Allah , mampu bersikap tawadhu’ dan bersabar. Aamin ya Robbal alamin..





Wallahu a'lam Bishawab
Barakallahufikum ...
Bismillahirrahmanirrahim ...

 

Sahabat fillah , seberapa pentingkah kita mengucapkan kata "Insya Allah (dengan seijin Allah) " dalam berbagai aktifitas kita ... mari kita simak kisah-kisah berikut , semoga dapat menjadi hikmah dan manfaat bagi kita bersama ...


1. Kisah Pertama

Dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim, dikisahkan bahwa suatu hari, nabi Sulaiman alaihisalam berkata, “Malam ini aku akan menyetubuhi 60 atau 70 istriku sehingga mereka hamil. Lalu, setiap istriku melahirkan seorang anak lelaki yang akan menjadi mujahid penunggang kuda fisabilillah.” Namun kemudian Nabi Sulaiman alaihisalam lupa mengucapkan insya Allah.


Malam itu Nabi Sulaiman alaihisalam berhasil menyetubuhi 60-70 istrinya, tetapi yang hamil hanya salah satu istrinya. Dan saat melahirkan, anak yang dilahirkannya tidak sempurna fisiknya, ia hanya berupa badan saja. Dalam riwayat lain, ia hanya sebelah manusia saja.


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.bersabda,

“Kalau saja Nabi Sulaiman alaihisalam mengucapkan Insya Allah niscaya mereka akan berjihad dijalan Allah sebagai penunggang kuda semuanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :

“Semua wanita itu akan hamil (dan melahirkan) putra yang berjihad dijalan Allah.” (HR. Muslim)



2. Kisah Kedua

Di puncak pertarungan pemikiran antara Rasulullah shalallahu alaihiwassalam dengan kafir Quraisy, orang-orang Quraisy mengirimkan dua orang cendikiawannya sebagai utusan khusus kepada orang-orang yahudi di madinah.

Tujuannya, agar orang-orang Quraisy mendapatkan dukungan ilmu baru dalam menghadapi Rasulullah SAW, yakni An-Nadhar bin Al Harits dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Orang-orang yahudi membekali dua orang cendikiawan itu dengan tiga pertanyaan yang harus mereka ajukan kepada Rasulullah shalallahu alaihiwassalam. Pertanyaannya adalah :


1. Bagaimana kisah Ashhabul Kahfi ?
2. Bagaimana kisah dzul Qarnain?
3. Apa yang dimaksud dengan ruh?

Mendapatkan tiga pertanyaan seperti itu Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda “besok akan saya ceritakan dan saya jawab.”

Akan tetapi beliau lupa mengucapka Insya Allah. Akibatnya, wahyu yang biasanya turun kepada beliau setiap kali menghadapi masalah, terhenti selama lima belas hari.

Sedangkan orang-orang Quraisy setiap hari selalu datang menagih janji Rasulullah SAW. “mana ceritanya? Besok...besok...besok...,” begitu kira-kira ucapan orang-orang quraisy itu.

Rasulullah shalallahu alaihiwassalam sangat sedih atas kejadian itu. Barulah setelah berlalu selama 15 hari Allah Subhana wa Ta'ala menurunkan surat Al kahfi yang berisi jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad .

Sedangkan pertanyaan yang ketiga disebutkan Allah Subhanawata'ala . Dalam surat Al Isra’ ayat 85.


Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah Subhanahu wa Ta'ala Berfirman :

“ Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al Kahfi :23-24)



3. Kisah Ketiga

Pada suatu hari, ketika Nabi Musa alahisalam sedang mengajar kaumnya timbul sebuah pertanyaan, “siapakah yang paling ‘alim diantara kalian?, Nabi Musa menjawab, “saya”. Atas jawaban tersebut, Allah Subhanawata'ala menegurnya dan memberitahukan kepadanya bahwa ada seorang hamba Allah yang lebih alim.


Singkat cerita, Nabi Musa alaihisalam ingin berguru kepada hamba Allah itu. Hamba Allah itu menerima lamaran Nabi Musa dengan syarat Nabi Musa tidak boleh bertanya, berkomentar, apalagi mengingkari apa yang akan dilihatnya sebelum hal itu dijelaskan kepadanya. Nabi Musa a.s. menerima persyaratan itu.

Hamba Allah itu, yang tiada lain adalah Nabi Khidir alaihisalam , berkata, “akan tetapi kamu tidak akan mampu bersabar”.

Spontan Nabi Musa menjawab , Insya Allah kamu akan mendapati diriku sebagai orang yang sabar.”

Nabi Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun." (QS. Al-Kahfi : 69)


Dalam jawaban ini, Nabi Musa alaihisalam mengucapkan Insya Allah. Akan tetapi jawaban itu menunjukkan bahwa Nabi Musa alaihisalam kurang tawadhu’. Mengapa? Sebab, ia mengatakan “...saya sebagai orang yang sabar”.


Beliau tidak mengatakan ”...saya sebagai bagian dari orang-orang yang bersabar.” Artinya, jawaban Nabi Musa a.s dapat dikonotasikan sekakan-akan didunia ini tidak ada orang yang sabar selain dirinya.

Karena sedikit kurang tawadhu, terbuktilah bahwa Nabi Musa a.s. tidak mampu sabar dalam berguru kepada Nabi Khidir a.s.. mengapa? Sebab, setiap Nabi Khidir a.s. berbuat sesuatu, Nabi Musa a.s. selalu bertanya/berkomentar, (kisah lengkapnya bisa dilihat di (QS. Al-Kahfi : 60-82).

Rasulullah Shallahu 'alaihi wasalam bersabda, Kita sangat senang kalau saja Nabi Musa bersabar, niscaya akan banyak kisah yang bisa kita dapatkan darinya.”(HR. Bukhori dan Muslim)


Pada penghujung akhir kisah Ashhabul Kahfi, Allah Subhanawata'ala Berfirman :

“ Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah" dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". (QS. Al Kahfi :23-24)



4. Kisah Keempat

Nabiyullah Ibrahim a.s. berkata kepada sang putra yang dicintai itu, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkan apa pendapatmu!.”

Ia Menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(QS. Ash-Shafat: 102)

Jawaban Nabi Isma’il ini mengandung makna bahwa didunia ini banyak sekali orang yang sabar dan ia insya Allah termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terbuktilah bahwa Nabi Isma’il a.s. mampu bersabar berkat pertolongan Allah.



Menjadilah pelajaran bagi kita semua, bahwa setiap gerak , laku , peristiwa , rencana dan ketaatan seorang hamba sekalipun ...itu adalah semata-mata karena ijin dan pertolongan Allah Ta'ala ..


Semoga Allah Ta'ala menjadikan kita semua ke dalam golongan hamba-hamba Nya yang senantiasa mengembalikan segala sesuatu kepada Allah , mampu bersikap tawadhu’ dan bersabar. Aamin ya Robbal alamin..





Wallahu a'lam Bishawab
Barakallahufikum ...

Jumat, 08 Juni 2012

Doa Ketika Galau


Zaman sekarang pemuda pemudi pasti tidak asing dengan kata “Galau”, satu kata pendek yang sering didengung-dengungkan ini mampu menggambarkan suatu keadaan yang menggelisahkan hati, susah, gundah gulana baik karena masalah jodoh, pekerjaan, keluarga, atau masalah kehidupan dunia yang lain. Yang paling sering kita pahami dan yang dimaksudkan, kata “Galau” ini dikaitkan dengan masalah yang pertama kami sebutkan, yaitu Jodoh. Entah kenapa konotasinya kebanyakan menuju kesana. Wallahua’lam. Tentu setiap orang akan merasa tidak nyaman jika mengalami kegalauan, dan setiap orang akan berusaha keluar dari zona ini. Tentunya kita harus melampiaskan rasa galau ini dengan segala kegiatan positif terlebih lagi yang membawa pahala, dan jangan sampai kegalauan dilampiaskan dengan kemaksiatan, naudzubillahi min dzalik. Optimis….itulah kuncinya, karena Nabi bersabda,
وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً

“…..dan ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) itu bersama kesabaran, dan jalan keluar (dari kesulitan) selalu bersama kesulitan (itu sendiri), dan kemudahan selalu menyertai kesusahan”.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang paham akan ummatnya telah memberikan resep yang manjur untuk mengobati rasa galau ini. Oleh karena itu alangkah baiknya kita menyimak, menghafalkan, serta mengamalkan dzikir yang diajarkan oleh Nabi ‘alayhis sholatu was salam ketika hati ini dirundung kegalauan, kegundahan, atau kesedihan.

Dari ‘Abdulloh ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim ditimpa oleh kegalauan atau kesedihan lalu ia mengucapkan:
- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

(artinya: “Ya Allah! Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu (Adam) dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku padaku, qadha’Mu adalah adil bagiku. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama (baik) Mu yang telah Engkau namai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau khususkan untuk diriMu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, hendaklah kiranya Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya di dadaku, penghilang kesedihanku serta penghilang kegalauanku”)

Melainkan Allah ta’ala akan menghilangkan kegalauannya dan kesedihannya kemudian menggantinya dengan kegembiraan. Salah seorang bertanya: “Wahai Rasululloh, bolehkah kami mempelajarinya?” Beliau menjawab: “Ya sudah seharusnya orang yang mendengar do’a tersebut mempelajarinya”. (Al-Musnad, HR Imam Ahmad I/391)

Hukum Laki-Laki Memandang Wanita


Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS Yasin: 36)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS Adz-Dzaariyat: 49)
Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.
Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang  diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.
Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: “… Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah: 35)
Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain…” (QS At-Taubah: 71)
Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.
Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap  perempuan. Kami menguatkan pendapat  jumhur  ulama yang menafsirkan firman Allah: “…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya…” (QS An-Nur: 31 )
Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah “wajah dan telapak tangan.” Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak  tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.
Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki  melihat kepadanya ataukah tidak?
Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, “memandang merupakan pengantar perzinaan”.
Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, “Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu.”
Adapun melihat perhiasan (bagian  tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan   sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.
Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan  khayalan  sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.
Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin Abbas, agar tidak melihat wanita Khats’amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya kepada  Rasulullah SAW, “Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?”
Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku  tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka.”
Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.
Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan  upaya “menikmati” dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur: 30-31)
(RoL)
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, Yusuf  Qaradhawi

Dilarang Bakar Uang !!


Ketika kita melihat seseorang yang membakar uang, maka spontan kita akan terkejut, dan menyatakan bahwa orang tersebut tidak waras. Sebab di era sekarang ini, mencari uang mempunyai tantangan yang berat dan susah. Maka wajar saja jika hal tersebut menjadi pemandangan yang aneh bin ajaib. Namun sesuatu yang aneh itu bisa disulap oleh setan menjadi sesuatu yang baik di mata manusia. Maka pada hari ini banyak terlihat orang-orang yang membakar rokok. Padahal hakikatnya ia telah membakar uang sendiri, tanpa sadar !

Sudah lama rokok menjadi bahan perdebatan di antara kaum muslimin. Padahal hukumnya amat jelas dan tegas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang haramnya rokok. Sebab Islam adalah agama yang sempurna; tak ada satupun kesamaran di dalamnya. Allah -Ta’ala- berfirman,

ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl: 89).

Allah telah menjelaskan segala sesuatu dalam agama ini dengan jelas. Bahkan perkara yang nampak sepele pun telah diterangkan dalam agama ini, sehingga kaum musyrikin berkata kepada Salman Al-Farisiy, ” Sungguh Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai masalah tata cara buang air” , lalu Salman berkata

“Benar, sungguh beliau telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau buang air kecil, melarang kami cebok dengan tangan kanan, melarang kami cebok kurang dari tiga batu, dan melarang kami cebok dengan kotoran dan tulang”. [HR. Muslim (262)]

Perkara yang dianggap sepele saja -seperti tata cara buang air-, itu dijelaskan dan memiliki hukum di dalam agama; apalagi rokok !! Banyak diantara kaum muslimin menyangka bahwa haramnya rokok tak ada dalilnya dalam agama. karenanya, kami akan bawakan sisi pengharaman rokok beserta dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah:

* Rokok adalah Sesuatu yang Khobits (Buruk)

Sungguh Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan bagi kita segala yang buruk dan menghalalkan sesuatu yang baik lagi bermanfaat. Allah -Ta’ala- berfirman,

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raaf: 157).

Syaikh Ibnu Sa’diy -rahimahullah- berkata, “Allah mengharamkan bagi mereka segala yang buruk baik berupa makanan, minuman, jenis-jenis pernikahan, perbuatan, maupun ucapan”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 305)]

Jadi, Allah mengharamkan bagi kita segala yang buruk dan berbahaya, seperti khomer (minuman keras), ganja, serta semua jenis NARKOBA. Adapun rokok, jelas keburukannya, seperti rokok bisa merusak gigi, merusak paru-paru, dan organ tubuh lainnya..

* Merokok termasuk Pemborosan Harta

Harta adalah nikmat yang Allah berikan kepada kita, dan juga ujian bagi manusia; apakah ia mensyukurinya atau tidak. Kita banyak melihat manusia membanting tulang untuk mendapatkannya, bahkan terkadang sebagian orang tidak mempedulikan halal-haramnya, yang penting kebutuhannya terpenuhi!! Dibalik susahnya harta, sebagian orang justru membuang dan membakarnya dalam bentuk rokok, tanpa guna. Allah -Ta’ala- berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Dan Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. Al-Anfaal: 28)

Karenanya, Allah memerintahkan para hamba untuk menggunakan harta sebaik-baiknya dan tidak menghamburnya. Sebab semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hari kiamat. Allah -Ta’ala- berfirman,

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS. At-Takaatsur: 8).

Merokok termasuk perbuatan menghambur-hamburkan harta, tanpa faedah sedikitpun. Banyak orang yang tak mampu mencukupi kebutuhan hidup dan keluarganya, karena digunakan untuk beli rokok. Andai para tukang rokok memanfaatkan uang rokoknya untuk hal yang bermanfaat, niscaya uang itu amat membantunya untuk bisa membeli rumah, kendaraan, menikah, bahkan naik haji. Tapi, setan lihai dalam merayu manusia hingga mayoritas orang jatuh dalam perangkapnya. Mereka menghambur-hamburkan hartanya dan lalai dari larangan-Nya. Allah -Ta’ala- berfirman,

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Israa’: 26-27)

Wahai kaum muslimin, apakah kalian ridho kalau digolongkan sebagai pemboros dan menjadi saudara setan?!

* Merokok = Membunuh Diri Sendiri secara Perlahan

Bunuh diri adalah perbuatan yang tercela dalam Islam, baik secara langsung -seperti bom bunuh diri, minum racun, gantung diri-, maupun secara tidak langsung, seperti meneguk minuman keras, narkoba, dan ROKOK. Sebab Allah memerintahkan kita untuk mencari sebab-sebab keselamatan demi kebahagian hidup kita. Karenanya, Allah memerintahkan kita makan agar kita tidak binasa. Allah -Ta’ala- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”. (QS. Al-Baqarah: 172)

Adapun rokok, ia justru merugikan kesehatan, dan lambat laun akan mengantarkan pemakainya pada kematian. Seluruh dokter, perusahaan, pemerintah, bahkan seluruh manusia SEPAKAT bahwa merokok dapat merusak kesehatan. Para dokter menyatakan bahwa rokok adalah faktor utama timbulnya kanker pangkal tenggorokan, kanker paru-paru, serangan jantung, TBC, luka lambung, keguguran janin, dan lain-lain. Bahkan para dokter menyatakan bahwa rokok bisa memperpendek usia 4-15 tahun. Bagaimana tidak, sebatang rokok yang dibakar akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia, seperti nikotin, gas karbon monooksida, nitrogen oksida, hidrogen, amonia, akrolin dan lain-lain.

Jadi, semakin tinggi kadar bahan kimia dalam satu batang rokok, maka semakin besar pula kemungkinan seseorang menjadi sakit. Setiap golongan penyakit berhubungan dengan bahan tertentu, contohnya kanker paru-paru dihubungkan dengan kadar tar; penyakit jantung dihubungkan dengan gas karbon monooksida, nikotin dan lain-lain. Oleh sebab itu, tidak pantas bagi seorang muslim untuk mengkonsumsi barang berbahaya ini, apalagi menjadikannya sebagai “teman hidup” dan “lambang persahabatannya”.Rokok itu tidak memberi manfaat, bahkan justru membinasakan. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Diantara baiknya keislaman seseorang, ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”. [HR.At-Tirmidzi(2317), dan Ibnu Majah (3976)]

Kewajiban seorang muslim adalah menjaga nikmat kesehatan dan memanfaatkannya dalam ketaatan, karena Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda

” Ada dua nikmat yang dilalaikan dleh kebanyakan manusia yaitu kesehatan dan waktu luang”. [HR. Al-Bukhoriy (6412)]

Ketahuilah, kesehatan adalah mahkota yang berada di kepala orang-orang yang sehat. Tidak ada yang mengetahui nilainya, kecuali orang-orang yang sakit. Sesuai tabiat, manusia selalu berusaha menjaga kesehatannya dan lari dari segala macam penyakit yang kecil maupun yang besar. Tapi anehnya, ada orang yang berusaha untuk membunuh diri sendiri dengan merokok. Hampir tak satu organ pun yang selamat dari efek dan bahaya rokok. Tidakkah kita mendengar firman Allah -Subhanahu wa Ta’la-

وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayangkepadamu”.(QS. An-Nisaa : 29).

Penafsir Jazirah Arab, Syaikh As-Sa’diy -rahimahullah- berkata, “Masuk dalam kategori hal ini (membunuh diri), menjerumuskan diri dalam kebinasaan, melakukan perkara-perkara yang berbahaya lagi mengantarkan kepada kebinasaan, dan kehancuran”. [Lihat Tafsir As-Sa’diy (hal. 175)]

* Merokok Dapat Mengganggu Orang Lain.

Sungguh rokok tidak hanya menimbulkan bahaya pada diri pemakainya saja, namun berdampak buruk bagi orang yang ada disekitarnya. Selain mencemari udara, mereka telah menyakiti kaum muslimin dengan baunya yang tidak sedap. Mereka tidak mau peduli meski sudah ditulis “DILARANG MEROKOK” sehingga merekapun merokok di tempat-tempat umum seperti pasar, tunggu, dalam bus bahkan rumah sakit!?!. Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”. [HR. Ibnu Majah (2341)]

Orang yang merokok telah membahayakan diri dan orang lain. Ini semakin memperkuat sisi keharaman rokok. Al-Imam Ibnu Daqiqil Ied -rahimahullah- berkata, “Ketahuilah, barang siapa yang membahayakan (mengganggu) saudaranya, maka sungguh ia telah menzholiminya. Sedang kezholiman itu haram”. [Lihat Ad-Durroh As-Salafiyyah Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah (hal. 225)]

Selain itu, seorang perokok memasuki masjid –tanpa malu- sambil membawa bau yang tidak sedap, yang bisa mengganggu orang-orang yang shalat dan juga para malaikat. Baunya menandingi bau ketiak, bahkan lebih busuk!! Padahal Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menuntun umatnya agar memasuki shalat dalam kondisi yang paling baik, yaitu dengan bersiwak saat hendak shalat dan memakai parfum, sehingga tubuhnya beraroma sedap. Karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang para sahabat memakan bawang merah & bawang putih mentah ketika menghadiri shalat jama’ah di masjid dalam sabdanya,

“Barang siapa memakan bawang merah atau bawang putih, maka hendaklah ia menjauhi kami, masjid kami dan berdiam saja dirumahnya”. [HR. Al-Bukhoriy (855)].

Padahal bau rokok jauh lebih mangganggu dari bau bawang merah dan bawang putih. Jika seorang dilarang mendatangi masjid, karena bau bawang, maka seorang yang membawa bau rokok lebih layak dilarang.

Inilah segelintir dalil, walaupun sebenarnyta masih banyak dalil tentang haramnya rokok. Kiranya sudah cukup dengan menyebutkan 4 poin saja untuk menunjukkan haramnya rokok. Tidaklah satu jiwa yang menginkari haramnya rokok, melainkan jiwa itu telah dikuasai oleh hawa nafsunya!!! Hawa nafsu membutakan pengikutnya dari cahaya kebenaran. Walaupun cahaya kebenaran laksana sinar mentari yang berkilauan, namun cahaya itu tidak akan mampu dilihat oleh mata yang buta. Hendaklah kita waspada terhadap kecaman Allah dalam fiman-Nya,

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS.Al-Furqan :43 ).

Jadi, seyogyanya kita selalu berpikir bahwa kita tidak diciptakan untuk memperturutkan hawa nafsu. Tapi kita diciptakan untuk beribadah dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedang lezatnya ketaatan itu tidak akan mungkin diraih, kecuali menyelisihi hawa nafsu syaithoniyyah.

Janganlah kita tertipu dengan sebagian dokter atau ustadz yang merokok, sehingga kita menganggap bahwa rokok adalah halal. Ketahuilah, dokter dan ustadz bukanlah orang yang ma’shum(terjaga dari dosa dan kesalahan), seperti para nabi. Merokoknya ustadz tidaklah dapat mengubah hukum rokok, tadinya haram, lalu menjadi halal. Sebagaimana dokter yang merokok tidak akan mungkin mengubah rokok, yang tadinya racun, lalu menjadi vitamin. Seorang tidak boleh mengikuti kesalahan yang mereka lakukan, sebab Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Setiap anak cucu Adam itu banyak berbuat salah, sedangkan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat”. [HR.At-Tirmidzi (2499). Lihat Takhrij Al-Misykah (2341)]

Tinggalkanlah rokok, walaupun hal itu sangat berat dan susah. Mintalah pertolongan kepada Allah, dengan tekad yang jujur serta bersabar, niscaya Allah akan melepaskanmu dari cengkraman rokok. Ingatlah selalu, barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik. Tahanlah pahitnya kesabaran, untuk bisa meneguk manisnya iman, dan merasakan kenikmatan di akhirat.

Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya

Akan tetapi akibatnya lebih manis daripada madu

Hadirkanlah pula di dalam hati bahwa bersabar dari merokok jauh lebih mudah daripada akibat dan bahaya rokok, sebab merokok tidaklah mewariskan kebaikan sedikitpun, melainkan hanya penyakit, kesedihan, penyesalan, dan siksaan yang pedih di akhirat.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 104 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.